Halaman

Senin, 11 Juni 2012

Basir, Pariyem, Mela, Ujang, Paino, Leksi dan Ahong Berzinah

Ketika hasrat insani dikuasai nafsu birahi yang menggelegak hingga memaksa libido menguasai alam bawah sadar. Segala nalar akan tumpul dari pemikiran lain karena jiwa telah tergadaikan oleh pemandangan surga dunia. Jika itu pada posisi yang sudah menjadi hak insani tentu tidak akan menuang protes hati. Andaikan hak itu belum dilegalisasi oleh agama dan bisikan setan yang telah mencuri kekuatan iman, tentu jiwa manapun akan dihinggapi ketidaknyamanan meskipun langkah pasti birahi telah terpuaskan.

Katakan saja Basir, Pariyem, Mela, Ujang, Paino, Leksi dan Ahong. Mereka mewakili pribadi-pribadi rapuh dari latar belakang lingkungan yang berbeda. Mereka sudah terbiasa bahkan membudaya bebas menikmati sebagian keindahan dan kenikmatan dunia dari sisi sex bebas. Latar belakang mereka tentu berbeda, kerasnya kehidupan dunia dan minimnya bimbingan orang terdekat menjadikan mereka insan-insan bermoral rendah. Bisa jadi, kasih sayang yang semestinya mereka terima sejak kecil dengan wujud perhatian yang baik, samasekali tidak mereka terima. Alhasil menjadikan mereka jiwa-jiwa gersang yang mengais-ngais perhatian orang lain disekeliling mereka. Sebagai makhluk sosial dengan status atau strata apapun, jiwa mereka membutuhkan tempat bernaung untuk berkeluh-kesah, mencintai dengan atau tanpa menyayangi.

Basir, meskipun dia terlahir tampan namun dia dilahirkan dengan status anak haram menurut agama dan adat di tempat dia pertama kali melihat gemerlap warna dunia. Masa kecilnya dipenuhi ejekan dan cibiran jijik dari temannya atau orang tua yang sok suci. Telinga basir seakan jengah dan bosan dengan sindiran sinis, padahal jiwa kecilnya belum saatnya dipaksa mengerti akan makna anak haram. Trauma masa kecil itu menjadikan Basir berjiwa gamang, tidak percaya diri dan sensitif dengan cemoohan orang.

Pariyem anak yatim, kesulitan ekonomi yang mencekik kerongkongan dan membuat mual perut menahan lapar menjadikan otak Pariyem sejak kecil dipaksa berfikir keras bagaimana mendapatkan sesuap makanan. Sekolah, mustahil bagi Pariyem. Kenyataan dan kepahitan hidup adalah nuansa sekolahnya yang nyata. Tak disangkal lagi jika Pariyem bertumpu kepada kekuatan tubuh dan mentalnya untuk bertahan hidup. Dia buta akan moral meskipun sang ibu masih disampingnya. Kerapkali ia lihat ibunya berpelukan mesra dengan berganti-ganti lelaki. Desah nafas memburu disertai jeritan kecil sebagai musik malam yang selalu ia dengar dari kamar ibu. “Mungkin suatu saat aku rasakan itu”, Pariyem tersenyum.

Mela, sungguh ia lewati kehidupan dengan serba bahagia. Tak ada penolakan akan segala kemauannya. Apapun bisa ia dapatkan dengan mudah. Hidup tanpa kesusahan, itu mungkin motto hidupnya. Ia dimanjakan dengan harta berlimpah namun minim sentuhan lembut hati sang mama dan papa Mela. Harta adalah pujaan bagi orang tua Mela, jangan ada waktu yang terlewat sedikitpun untuk menumpuk harta. Dunia multimedia yang mengglobalisasi memanjakan mata Mela setiap detiknya. Kelas lima SD dia sudah senang melihat film porno, padahal dia belum pernah alami menstruasi. Saat SMP dia sudah berani mengajak teman lelakinya menonton film porno bersama di kamarnya. Tentu kita tahu apa yang dia lakukan selanjutnya.

Ujang, bertunangan dengan seorang bunga kampus disebuah institusi pendidikan ternama. Dia yakin bahwa tunangannya akan menjadi mendampingnya saat dia wisuda. Tak dinyana dan terduga olehnya sehari sebelum wisuda, ia tak sengaja melihat wanita tambatan hati sedang bergelayut mesra dipundak lelaki setengah baya yang perlente. Sesekali mereka berciuman mesra. Memang ini di pantai, akan tetapi bagi Ujang itu sebuah pemandangan terburuk selama ia menjalani hidup dan memuja kesetian kepada seorang gadis. Ujang menjadi amat membenci apa itu kesetian, selama lima tahun dia berusaha meneguhkan hati pada seorang wanita dan ternyata kesetiaan itu hanya dipandang sebelah mata.

Paino, dia lelaki lugu dari sebuah kampung dipinggiran bukit yang cukup terpencil. Kesehariannya sangat bersahaja, dengan sepetak tanah subur yang dia punya dari warisan leluhur, ia bisa mencukupi kebutuhan primernya yaitu makan ala kadarnya. Paino tak banyak keinginan yang melambungkan hayal, yang penting perut kenyang dan suatu saat ia akan datang ke Pak Lurah untuk meminta ijin mendekati Denok putri tercantik Lurah. Pak Lurah senang pada keluguan serta kesopanan Paino, akhirnya beliau membiarkan Denok diajak Paino pergi ke ladang hanya berdua. Suasana sepi disertai semilir angin pebukitan begitu membuai asmara mereka. Hanya ada kata desah selanjutnya di gubuk tepi ladang.

Leksi, budaya pesta pora di kampungnya seakan tak pernah mengenal waktu. Seremonial pernikahan atau pesta keberhasilan tak jauh dari jamuan minuman keras penghilang akal. Miras bak simbol sebuah pesta dan itu wajib ada jika mau pesta itu dihadiri para tamu undangan. Mereka mabuk bersama sambil menari dan bernyanyi tak keruan arti. Mau tak mau Leksi ikut bergabung dengan budaya itu, sebuah ajakan paksaan masyarakat. Semua merk Miras ternama bisa ia dapatkan bebas dari pelabuhan yang berbatasan dengan negara tetangga. Ketika Alkohol telah memanaskan darah, di situ setan mulai merasuk hati membisikkan kata-kata ajakan surga semu. Genderang pesta sex telah ditabuh, menggelorakan nafsu iblis.

Ahong, ia menatap sebuah bungkusan. Bungkusan ini titipan kakanya yang harus dia sampaikan kepada teman kakaknya. Ada ketentuan waktu dan tempat dimana ia harus memberikan bungkusan ini. Ini bungkusan kelima yang harus dia sampaikan kepada seseorang. Bungkusan itu begitu rapat hingga tak bisa ditebak apa isinya. Ahong begitu patuh kepada kakak yang telah menjaganya, orang tua mereka sudah meninggal sejak Ahong dan kakak masih kecil. Baru sebulan yang lalu ia ditugasi ini dan kakak tak mau memberitahu apa isinya. Tanpa sengaja bungkusan itu terkait kawat pagar dan robek disebagian sisinya ketika Ahong berlari. Ahong melihat tepung putih di dalamnya. Ahong curiga sejenak namun hatinya mendesaknya agar segera menyampaikan bungkusan ini pada seseorang sesuai perintah kakak. “Masuk Ahong”. Seorang wanita berpakaian sexy berteriak dari dalam. Begitu pintu terbuka, Ahong melihat teman kakanya sedang duduk di lantai dengan pose menggoda. “Tolong aku Ahong, aku sudah tak kuat, berikan bungkusan itu segera !”. Dia merobek bungkusan itu dengan antusiasnya, menjilati tepung putih itu. Ahong hanya terdiam menyaksikan semuanya, benar kecurigaannya tadi. Kakak telah berbisnis barang haram. “Ahong kau mau minum dingin atau hangat, yang dingin saja ya ?”. Segelas sirup dingin telah digenggap Ahong, sungguh haus kerongkongan Ahong karena berlari menghindar hujan. Pandangan Ahong kabur dan ia merasakan gejolak aneh dalam hatinya. Teman kakaknya tiba-tiba telah menindih Ahong, Ahong pun anehnya setuju dengan itu semua. Pengaruh obat perangsang dalam sirup tadi telah membutakan mata Ahong dan segalanya.

Entah bagaimana Basir bertemu dengan Mela. Sejak selesai orientasi SMA, mereka dekat dengan status berpacaran. Di hari ketiga sejak mereka ikrar berpacaran, Basir dan Mela sudah berani saling membuka pakaian mereka satu-persatu di kamar Mela. Semestinya energi mereka tersalurkan pada prestasi yang positif dan membanggakan teman juga orang tua mereka, bukan kepada hal negatif seperti itu. Menghabiskan waktu malam minggu duduk di bangku diskotik ternama, itu yang selalu mereka lakukan hingga pertengahan malam. Saat itu pula Ahong menawarkan mereka pil ekstasi, demi menggenjot stamina. Tawa mereka kembali membahana menyambut kerlip lampu warna-warni diskotik. Ahong senang karena setiap malam minggu ia mempunyai langganan tetap yang mau menelan pil ekstasi yang ia jual mahal.

Hingga kelas tiga SMA, Basir dan Mela memuja surga dunia yang semu. Kadang Mela menertawakan Basir dalam hatinya. “Untung Basir tidak mengetahui kisah asmaranya dengan Ujang”. Dua minggu sekali Mela bertemu ujang di vila ayahnya yang berada di puncak bukit. Ujang mencumbui Mela untuk melupakan wanita keparat mantan tunangannya dulu. Ia berencana balas dendam kepada golongan wanita, agar wanita merasakan sakitnya suatu perselingkuhan haram. Ujangpun sering menghabiskan waktu kesendiriannya dengan botol-botol miras yang dipesannya dari Leksi, salah satu sahabatnya. Leksi bisa sediakan kapanpun bahkan dalam partai besar sekalipun.

Paino sebagai orang kepercayaan penjaga vila ayah Mela, sering mengintip adegan panas berkeringat Basir dan Mela. Maklum Basir dan Mela lakukan dimana saja mereka mau, ruang tengah, dapur atau kamar mandi. Paino hanya mampu menikmati foto hasil jepretan curian ketika ia mengintip kebejatan Basir dan Mela. Jika nafsunya sudah tak terbendung, Paino akan pergi ke kota, menemui WTS langganannya Pariyem. Paino bahkan pernah mengajak Pariyem untuk menikah dan tinggal di kampungnya yang sunyi. Dalam benak Paino, ia dan Pariyem akan senang mengurus vila secara bersama. Paino akan selalu mendekap Pariyem setiap malamnya dan Pariyem bisa berhenti sebagai WTS kelas pinggiran.

***

Bisakah mereka kita kesampingkan dari pemikiran kita semua. Ini masalah klasik yang ada di masyarakat kita. Ketika semua keterbatasan didengungkan, apakah itu kemiskinan harta, keterbelakangan peradaban, ketidakmengertian filosofis agama atau merananya jiwa karena gersang perhatian dari orang-orang terdekat. Mereka hidup di tengah kita, sebagai bagian dari bangsa ini. Kita jangan hanya bisa mempersalahkan mereka tanpa ingin tahu mengapa mereka terjebak di dunia hitam kelam itu. Sadar atau tidak mereka lakukan itu tentu dipengaruhi faktor lingkungan yang membesarkan atau mengubah jiwa-jiwa mereka. Harus ada upaya menyeluruh dari setiap komponen masyarakat agar mereka bisa kembali ke tengah kita dengan berlaku sebagi insan dengan moral yang sopan dan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar